Tuesday, November 18, 2014

Malindo, Kinerja Saham Tertekan, Wajarkah?

Jakarta, 19 November 2014 - PT Malindo Feedmill, Tbk. (MAIN) mencatatkan penurunan saham signifikan hingga 27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis laporan keuangan yang menunjukkan penurunan laba hingga 92,35%. Dikombinasikan dengan adanya transaksi pemegang saham di pasar negosiasi pada harga Rp 2.280, muncullah pertanyaan: wajarkah penurunan harga tersebut dan apakah sinyal tersebut ditangkap oleh pemilik mayoritas namun belum diketahui investor minoritas saat itu?

Malindo mencatatkan penurunan laba bersih hingga 92,35% menjadi  Rp 18,53 miliar meskipun pendapatan masih menunjukkan kenaikan hingga 9,22% menjadi Rp 3,40 triliun. Dampaknya, marjin laba bersih turun signifikan menjadi hanya sebesar 0,55%.

Selain Malindo, kedua kompetitornya pada industri akan ternak juga mengalami penurunan laba bersih dan kenaikan pendapatan pada triwulan 3 yang lalu. Namun penurunan kinerja Malindo lebih signifikan.
 
PT Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) pemain terbesar industri pakan ternak, mencatatkan penurunan laba bersih hingga 22,46% menjadi Rp 1,71 triliun meskipun pendapatan naik 16,59% menjadi Rp 21,78 triliun. Marjin laba bersih Charoen tercatat 7,86%. Sementara PT Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) mencatatkan penurunan laba bersih hingga 57.27% menjadi Rp 327,66 miliar dengan kenaikan pendapatan hingga 17% pada Rp 18,69 triliun dengan penurunan marjin laba bersih hingga 3% menjadi 1,75%.

Kinerja ketiganya mengalami penurunan, namun hanya MAIN yang mengalami penurunan harga saham di pasar hingga  27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis penurunan kinerja pada triwulan ketiga ini, sementara Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) tercatat hanya turun 1,04% sejak sebulan terakhir, Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) melemah 8,12%.

Proyeksi beberapa sekuritas tersebut yang masih berdasarkan laporan keuangan pada semester pertama tahun ini masih terlalu optimis. Kim Eng Maybank yang merekomendasikan target harga Malindo pada harga Rp 3.300 memproyeksikan laba bersih per saham hanya turun 19% pada  akhir tahun mendatang. Sementara Bahana Securities bahkan memproyeksikan laba bersih per saham masih tumbuh 26% meskipun sejak tahun lalu sudah mengalami penurunan dengan menargetkan harga emiten pada Rp 4.000 per saham.

Pada riset tersebut sebenarnya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa momentum perolehan laba bersih perusahaan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena kondisi pasar pakan ternak yang kelebihan pasokan dan biaya produksi pakan yang tinggi. Namun turunnya kinerja MAIN pada triwulan ketiga ini yang melebihi ekspektasi, wajarlah jika harga pun turun tajam.


Di sisi lain perlu dicermati pula adanya transaksi pemegang saham mayoritas beberapa periode lalu, di mana terjadi pre-emptive right issue sebanyak 5% saham pada harga pelaksanaan Rp 3.500. Saham baru dibeli oleh Ginger Company untuk kemudian pada bulan Agustus dipindahkan kepada Dragon Amity Holding Ltd. dengan harga sebesar Rp 2.280 per saham.

Setelah pengalihan saham hasil pre-emptive right issue tersebut, Dragon Amity Ltd., mengalihkan 51% saham MAIN kepada Dragon Amity Pte. Ltd yang merupakan private company atau perusahaan swasta tertutup pada harga Rp 2.280 per saham. Kedua perusahaan ini dikendalikan oleh keluarga Lau dari Malaysia yang juga memiliki Leong Hub Feedmill di Malaysia.

Perihal ini transaksi tersebut, Malindo sempat diwajibkan oleh OJK membuka proses transaksi ini kepada publik. Dalam pernyataannya perusahaan juga menambahkan bahwa hasil pendanaan right issue tersebut untuk ekspansi dan membangun pabrik pakan ternak sehingga kembali lagi ke dalam operasional MAIN.

Harga Rp 2.280 tersebut lebih rendah dibandingkan harga pasar saat itu pada Rp 3.130. Ini menimbulkan dugaan bahwa ada kemungkinan kinerja Malindo yang turun signifikan pada triwulan ketiga 2014 sudah diketahui oleh pemegang saham pengendali, namun tidak tertangkap oleh investor minoritas.

Berbasis kurangnya keterbukaan informasi yang wajar, ASCEND menyimpulkan bahwa Malindo memiliki kekurangan standar proses keterbukaan informasi yang perlu diperbaiki.

Walaupun demikian, transaksi tersebut belum merugikan investor minoritas secara langsung karena transaksi ini berada di level pemegang saham Malindo dan tidak mengubah pengendali akhir (ultimate beneficial owner). Selisih harga ini mungkin disebabkan karena Dragon Amity Pte.Ltd. adalah perusahaan terbuka yang harus melaksanakan penilaian perusahaan sebelum pengalihan saham.

ASCEND melihat justru ada hal yang menarik karena Dragon Amity hingga saat ini mempertahankan Malindo dalam portofolionya. Industri pakan ternak yang merupakan hulu dari industri makanan masih dibutuhkan semua orang, sehingga seiring pertumbuhan demografi penduduk maka pertumbuhan industri ini termasuk Malindo masih cukup terbuka.Selain itu Dragon Amity juga mempunyai jaringan usaha sejenis yang berada di Malaysia yaitu Leong Hub Feedmill yang dikendalikan oleh keluarga Lau.

  
Kinerja MAIN: Fundamental Tertekan
Secara fundamental, MAIN memang membukukan penurunan laba bersih meskipun pendapatan tumbuh akibat kenaikan beban langsung yang membuat laba kotor mengalami penurunan. Analisis ASCEND menunjukkan beban langsung yang meningkat hingga 21% tidak dapat diteruskan ke pembeli sehingga menekan profitabilitas MAIN.

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat juga cenderung menekan bisnis bahan pokok seperti ternak ayam dan turunannya. Pendapatan diperkirakan masih cenderung melambat setidaknya hingga pertengahan tahun depan.

Kenaikan beban langsung ini berasal dari kenaikan beban pembelian bahan baku yang sebagian besar impor, dan juga peningkatan beban fabrikasi. Beban bahan baku meningkat seiring kenaikan komoditas kedelai, jagung dan kelapa sawit pada semester pertama tahun ini, diharapkan pada semester kedua yang mana tren harga komoditas cenderung melambat akan menekan beban langsung hingga akhir tahun nanti.

Meskipun pembelian beban langsung dengan menggunakan Dollar, sejauh ini depresiasi Rupiah terhadap Dollar hanya memiliki sensitivitas sebesar 2% pada tahun ini, tidak seperti tahun lalu yang sebesar 7% terhadap risiko perseroan secara keseluruhan, jadi sebenarnya nilai tukar tidak signifikan terhadap beban.

Hasilnya pun laba kotor Malindo tertekan hingga 39,98% sehingga marjin laba kotor pun juga tertekan menjadi hanya 9,89%. Bahkan EBITDA perusahaan pun melambat dengan mencatatkan penurunan 51,05% yang menunjukkan profitabilitas dari operasional melambat. Hal tersebut juga dialami oleh tiga emiten pakan ternak lainnya.

Imbal hasil terhadap ekuitas (ROE) MAIN pun tertekan hingga 2,08% atau menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 28,06%.

Pada industri pakan ternak, kami melihat bahwa MAIN dalam SWOT analisis memiliki beberapa keunggulan yaitu berada dalam high industry barrier to entry  yang mempunyai pangsa pasar besar sehingga oportunitas tumbuh cukup besar.

Malindo memiliki oportunitas dimana ekonomi Indonesia yang masih menarik dan potensi tumbuh besar dibandingkan dengan negara ASEAN lain dan potensi pasar yang besar.

Namun, Malindo memiliki kelemahan dimana volatilitas bahan baku dan nilai tukar cederung mendorong biaya, begitu pula peraturan impor bahan baku yang tidak konsisten. Dibutuhkan efisiensi biaya dimana saat ini industri poultry memiliki marjin yang cukup tipis. Selain itu, ancaman terhadap wabah penyakin ternak selalu membayangi.

Malindo juga memiliki ancaman pada posisi industri secara keseluruhan, yaitu pasar pakan ternak yang masuk dalam fase kelebihan pasokan sehingga cenderung menekan pertumbuhan. Selan itu, ancaman dari pasar China yang menawarkan biaya yang lebih murah ke petani juga mengancam industri akan ternak di Indonesia.


Berdasarkan analisis tersebut, ASCEND melihat ke depan potensi Malindo untuk tumbuh masih terbuka, namun selama setahun kedepan kondisi fundamental masih akan tertekan dari faktor biaya dan penurunan pendapatan. Dalam jangka panjang Malindo masih berpotensi tumbuh.