Friday, September 20, 2013

Berencana Membangun Pabrik Naphtha Cracker, Chandra Asri dan Barito Pacific Naik Signifikan


Jakarta, 20 September 2013 – PT Chandra Asri Petrochemical, Tbk (TPIA) dan PT Barito Pacific, Tbk (BRPT) reli selama bulan September setelah ada rencana Perseroan untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan membangun pabrik di Cilegon, Banten.

Harga saham Chandra Asri naik 59% sejak awal September,  pada harga Rp 3.950 dan bahkan sempat pada level tertinggi pada Rp 4.900. Sementara itu, Barito Pacific sebagai induk perusahaan yang 99% pendapatan disumbang dari Chandra Asri sempat mencapai harga Rp 490 dibandingkan penutupan Agustus lalu pada Rp 425 per saham sebagai dampak ikutan kenaikan anak usahanya.

Chandra Asri adalah salah satu produsen petrokimia terbesar di Indonesia. Chandra Asri dimiliki sebesar 59% oleh Barito Pacific. Chandra Asri memproduksi Ethylene, Propylene, Mixed C4 dan Pyrolysis Gasoline (Py-gas) untuk pasar  Indonesia dan ekspor. Sementara Barito Pacific merupakan perusahaan perdagangan dibidang petrokimia, industri kayu, tambang, dan infrasturktur tambang.

Chandar Asri baru saja menandatangani kontrak dengan Toyo Enginering Corporation untuk pembangunan plant  yang akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 43% yang diumumkan di otoritas bursa pada 13 September 2013 lalu. Proses pembangunan fasilitas pengolahan Naphtha Cracker tersebut dimulai pada kuartal ketiga tahun ini dan diharapkan dapat sepenuhnya selesai dan mulai beroperasi pada akhir tahun 2015.

Chandra Asri akan mengeluarkan pendanaan untuk belanja modal sebesar US$ 380 juta. Pendanaan tersebut bersumber dari ekuitas dan pinjaman. Saat ini Chandra Asri masih mengupayakan efektivitas porsi pendanaan tersebut.

Di antara produksi yang diharapkan meningkat diantaranya kapasitas produksi ethylene yang akan mencapai 860 ribu ton per tahun  dibanding kapasitas produksi saat ini sebesar 600 ribu ton per tahun. Sebagai produk sampingan, kapasitas produksi propylene juga diprakirakan akan naik menjadi 470 ton dari sebelumnya 150 ton. Produksi produk sampingannya juga, Py-Gas diharapkan akan naik menjadi 400 ribu ton dan produk Mixed C4 hingga 315 ribu ton dari sebelumnya 95 ribu ton.

Kinerja keuangan Chandra Asri melambat, BRPT bahkan tercatat rugi
Selama kuartal pertama 2013 lalu, Chandra Asri mencatatkan kontraksi penjualan sebesar 1% menjadi sebesar US$ 590 juta dari sebelumnya US$ 597 juta. Namun, biaya produksi yang dapat ditekan hingga 2% membuat laba kotor menguat 15% menjadi US$  20,6 juta dibanding sebelumnya US$ 17,9 juta. Laba operasi Chandra Asri naik 50% menjadi US$ 3,6 juta dibanding kuartal sebelumnya US$ 2,4 juta.

Namun laba bersih berhasil tumbuh menjadi US$ 573 ribu dibanding kuartal pertama tahun lalu rugi hingga US$ 15.000. Pencapaian laba positif Chandra Asri karena berhasil menekan biaya keuangan menjadi US$ 6 juta dari sebelumnya US$ 13 juta, beban umum dan administrasi juga mengalami penurunan  dan pencatatan keuntungan selisih kurs.

Sementara itu, Barito Pacific yang 99% pendapatan berasal dari Chandra Asri, justru membukukan kinerja negatif. Penjualan searah dengan Chandra Asri yang turun 1%.  Namun, laba kotor naik 7% menjadi US$ 18,9 juta dari sebelumnya US$ 17,7 juta. Tetapi Barito Pacific  masih mencatatkan rugi akibat tingginya beban finansial, penjualan dan biaya administrasi.  Rugi bersih Barito Pacific   tercatat sebesar US$ 6 juta, namun rugi tersebut turun dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 24 juta.

AFN merekomendasikan secara fundamental kinerja Chandra Asri lebih bagus dibanding induk usahanya Barito Pacific. Jika harus memilih untuk membeli kedua saham tersebut, saham Chandra Asri lebih diunggulkan untuk  dipilih. Namun, yang menjadi kendala, volume perdagangan saham Chandra Asri dibanding Barito Pacific yang rendah akan menambah risiko pasar.



Pertumbuhan SILO Lebih Baik daripada SRAJ,Industri Rumah Sakit Menarik

Jakarta, 19 September 2013 - PT Siloam International Hospitals, Tbk (SILO) secara fundamental lebih baik daripada PT Sejahteraraya Anugrahraya, Tbk (SRAJ). Secara lebih luas, industri rumah sakit/ kesehatan di Indonesia akan makin menarik.

Siloam membukukan pertumbuhan 42% di tahun 2012, dan potensi pertumbuhannya pada tahun ini melihat dari kinerja sampai bulan Aprilnya adalah 47%. Sedangkan Sejahteraraya membukukan pertumbuhan 16,1% di tahun 2012, dan tahun ini mungkin tercatat 13,5%.

Walaupun dari sisi pertumbuhan lebih baik, akan tetapi SILO dan SRAJ bersaing dalam hal kinerja profitabilitas. Marjin laba kotor SILO 25% sementara SRAJ 46,5%. Marjin laba bersih SILO 2,8% sementara SRAJ 2,4%. Tetapi imbal hasil atas ekuitas SILO lebih besar yaitu 25,7% (sebelum IPO), sementara SRAJ yang sudah lebih dulu IPO hanya 0,7%.


Rasio liabilitas terhadap ekuitas SILO memang lebih tinggi yaitu 7,07x dibandingkan SRAJ yang hanya 0,89x. Akan tetapi setelah disesuaikan dengan dana IPO yang diterima yaitu sekitar Rp 1,46 triliun, maka rasio kedua perusahaan tersebut menjadi sebanding.

Di luar dari kinerja yang telah terjadi, maka AFN melihat bahwa industri rumah sakit ke depannya akan menjadi menarik. Indonesia memiliki statistik kesehatan terendah dibandingkan negara-negara tetangganya. Masih banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa rumah sakit, dan tingkat kepercayaan atas rumah sakit memang masih rendah.

Karena itu rumah sakit-rumah sakit seperti Siloam dan Mayapada mulai membentuk brand equity yang kuat dari sisi kualitas pelayanan. Bertolak dari brand equity tersebut, mereka membentuk cabang-cabang dengan nama/ brand yang sama untuk meningkatkan kepercayaan penduduk atas rumah sakit.

Model bisnis rumah sakit yang seperti ini adalah yang makin terlihat berkembang di Indonesia, seperti RSIA Hermina, RSIA Bunda, RS Pondok Indah, Siloam Hospital, Mayapada Hospital dan sebagainya.

Apalagi terlihat dari riset WHO berikut ini bahwa pengeluaran untuk kesehatan makin lama makin tinggi didukung oleh makin matangnya industri asuransi di Indonesia, serta makin baiknya tingkat pendidikan di Indonesia.