Tuesday, November 19, 2013

Kembali Merugi dan Masih Defisit Modal, BUMI Lunasi Hutang dengan Tukar Saham



Jakarta, 20 November 2013 -  PT Bumi Resources, Tbk,  (BUMI) kembali mencatatkan kerugian bersih  sebesar US$ 377,51 juta atau turun dari sebelumnya sebesar US$ 632,49 juta. Akibat pencatatan kerugian ini, saldo laba pada sisi ekuitas bertambah defisit sebesar US$ 1,23 miliar. Setelah sempat diragukan kemampuannya dalam pelunasan utang pada CIC (China Insurance Company), BUMI akhirnya menukar saham KPC, BRMS dan BUMI lewat right issue.

Dalam perjanjian utang barunya dengan CIC,  BUMI akan menukar saham atas hutang pokok senilai US$ 1.300 juta pada CIC melalui fasilitas Country Limited 2009.  Atas transaksi tersebut CIC akan mendapat 19% saham Kaltim Prima Coal senilai 19%, saham PT Bumi Resources Minerals, Tbk., (BRMS) sebesar 42% pada Rp 280 per saham dan  saham BUMI senilai US$ 150 juta melalui right issue.

CIC sendiri akan mendapatkan ekuitas senilai US$ 1.357 juta atau lebih besar dibanding pokok pinjaman melalui fasilitas Country Limited 2009. Melalui fasilitas China Development Bank, CIC juga memberikan kredit pada BUMI sebesar US$ 600 juta. Hingga total hutang pokok BUMI kepada CIC sebesar US$ 1,9 miliar. Hutang ini berlaku pada tingkat bunga 12%.

Risiko default masih membayangi  setelah BUMI mencatatkan defisit modal dan kerugian. Bumi Resourses siang ini dijadwalkan  akan menggelar konferensi pers terkait kinerja selama kuartal ketiga tahun 2013, setelah bulan kemarin BUMI “dipaksa” otoritas bursa untuk menggelar public expose tentang penyelesaian utangnya.

Harga saham BUMI saat ini telah turun signifikan hingga saat ini pada harga RP 390 per saham atau turun 35,83% yoy dan turun 37,90% ytd. 

Permasalahan hutang BUMI pada CIC sebenarnya telah terjadi pada November 2011 lalu. Saat itu, BUMI mengajukan refinancing tranche I senilai US$ 600 juta pada CIC. Saat itu CIC menyetujui dengan jatuh tempo pada 30 September 2013. Namun hingga jatuh tempo, BUMI tidak bisa melunasinya. Untuk pembayaran hutang tranche II dan III masing-masing sebesar US$ 600 juta dan US$ 700 juta akan jatuh tempo pada 2014 dan 2015.

Selain CIC, BUMI juga mempunyai kewajiban lain senilai total US$ 3,32 miliar dari beberapa debitor dengan bagian jangka pendek hingga US$ 656 juta.

BUMI catatkan defisit modal
“From hero to zero”, mungkin itu istilah yang tepat untuk BUMI. Beberapa tahun lalu, BUMI merupakan emiten batubara terbesar dengan profitabilitas tinggi. Namun, sekarang BUMI tercatat membukukan defisit modal sebesar US$ 18,2 juta. Defisit terjadi karena saldo laba defisit tercatat sebesar US$ 1,23 miliar. Kuartal pertama lalu, nilai buku ekuitas BUMI sebesar US$ 90,73 juta dan akhir tahun lalu sebesar US$ 150,91 juta.

BUMI selama kuartal ketiga 2013 membukukan penurunan pendapatan hingga 4% menjadi US$ 2,65 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,77 miliar. Sementara itu, beban pokok naik 4% menjadi US$ 2,09 miliar dari sebelumnya US$ 2,02 miliar. Hal ini menekan  laba bruto turun menjadi US$ 557,6 juta dari sebelumnya US$ 750,3 juta. Marjin laba kotor pun turun menjadi 21% dari sebelumnya 27%

Laba opresional BUMI juga turun 31%  menjadi US$ 215,8 juta dari sebelumnya US$ 312,4 juta. Akibatnya marjin laba operasional pun turun menjadi 8,13% dari sebelumnya 11,28%.

BUMI mencatatkan rugi sebelum pajak sebesar US$ 455,76 juta atau turun dibandingkan tahun lalu yang mencatat rugi US$ 655,42 juta.

Kerugian ini disebabkan BUMI menanggung beban keuangan hingga US$ 449,11 juta, beban amortisasi sebesar US$ 31,08 juta, rugi selisih kurs sebesar US$ 119,56 juta dan transaksi derivatif sebesar US$ 94,10 juta.

Rugi bersih yang dibukukan BUMI tercatat sebesar US$ 377,51 juta atau turun dari sebelumnya sebesar US$ 632,49 juta. Akibat pencatatan kerugian ini, saldo laba pada sisi ekuitas bertambah defisit sebesar US$ 1,23 miliar.

Dari sisi aset, BUMI mencatatkan penurunan aset sebesar 4% menjadi US$ 7,03 miliar dari akhir tahun lalu sebesar US$ 7,35%. Penurunan aset ini terjadi setelah BUMI menjual beberapa aset untuk melunasi hutang.

Hingga periode kuartal ketiga 2013, aset BUMI yang tercatat turun signifikan yaitu, melepas pengelolaan aset keuangan oleh Recapital Asset Management yang nilai bukunya sebesar US$ 246,78 juta, derivatif aset dengan equity swap pada Credit Suisse yang menurunkan aset BUMI hingga US$ 94,10 juta, penyelesaian wesel tagih antara UOB dan BRMS senilai US$ 246,8 juta dan penurunan persediaan hingga US$ 30,4 juta.

Risiko default semakin tinggi
AFN merekomendasikan untuk menjauhi saham BUMI karena risiko default semakain tinggi.

Oktober lalu, Moody’s menurunkan peringkat hutang BUMI menjadi Ca dari sebelumnya Caa1 per tanggal 10 Oktober 2013. S&P juga memangkas peringkat utang BUMI menjadi CC dari sebelumnya CCC per 15 Oktober 2013. Penurunan itu karena likuiditas BUMI dipertanyakan.

Tercatat rasio lancar per kuartal ketiga 2013 sebesar 0,61 kali. Hal ini menunjukkan kemampuan BUMI untuk melunasi hutang jangka pendeknya sangat kecil dimana nilai hutang lancarnya bahkan hampir dua kali dari nilai aset lancar.

Sementara itu rasio hutang terhadap kewajiban negatif 387 kali. Dengan nilai buku ekuitas negatif sudah pasti BUMI saat ini dipertanyakaan kemampuan membayar semua kewajibannya.

Selain itu, risiko pasar tambang semakin tinggi. Tercatat harga rata-rata batubara KPC sebesar US$ 77 per metrik ton selama kuartal ketiga 2013, atau turun dari tahun lalu sebesar US$ 99 per metrik ton. Tentu saja hal ini akan menekan pendapatan BUMI meskipun produksi batubara meningkat.

Ancaman kelebihan pasokan batubara terutama batu bara dari British Columbia di Amerika Utara juga akan menekan harga batubara selaam tahun depan, itu berpotensi menekan pendapatan BUMI dan produsen batubara Indonesia pada umumnya. Jarak antara Amerika Utara dengan China dan Jepang juga menjadi keunggulan batubara Amerika Utara. Disis lain, beban BUMI terus meningkat dan akan menekan laba bersih BUMI.

Selain itu, sentimen pasar terhadap Bakrie Gruop juga masih menekan BUMI. Bulan lalu, ELTY, terancam default karena tidak mampu memenuhi kewajiban jatuh temponya.




Namun oportunitas masih ada, upaya diversifikasi energi oleh pemerintah seharusnya menjadi kesempatan BUMI untuk menjual batubara di industri dalam negeri untuk mengamankan target penjualannya. Saat ini prossentase penjualan dalam negeri hanya 16%. Namun kendalanya, infastruktur energi nasional masih rendah Selain itu, permintaan batu bara di India juga semakin meningkat. Saat ini produsen batubara lebih berorientasi pasar China dan Jepang sebagai negara industri di Asia.

Lautan Luas Terus Meningkatkan Modal di Anak Usaha, Tapi Kinerja Belum Terlihat


Jakarta, 19 November 2013 – PT Lautan Luas Tbk sedang agresif untuk meningkatkan modalnya di anak-anak perusahaannya. Langkah ini sejalan dengan strategi perusahaan untuk mencari peluang investasi di pasar domestik dan internasional. Langkah-langkah ini belum memberikan pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan.

Dalam jangka pendek, perusahaan sudah memiliki tujuan untuk bertumbuh pesat di air bersih. Di jangka menengah, perusahaan akan mengembangkan produk-produk berbasis sulfur, makanan alami, dan pengolahan air limbah. Sementara di jangka panjang perusahaan ingin menjadi hulu integrasi bagi usaha sektor bahan makanan.

Dalam tahun ini, perusahaan telah menginvestasikan Rp 282,15 miliar kepada anak perusahaannya. Karena sebagian dari penyertaan itu bukan berupa kas, maka dengan posisi kas sebesar Rp 122,37 miliar perusahaan tetap mampu membayar utang bank sebesar Rp 3,95 triliun.

Akan tetapi penyertaan ini belum membuahkan hasil yang nyata dalam kinerja perusahaan sampai dengan 9 bulan. Pertumbuhan pendapatan masih negatif 11,1% menjadi Rp 4,22 triliun dan pertumbuhan laba bersih juga negatif 3,9% di Rp 51,91 miliar. Ini membuat marjin laba bersih Lautan Luas tipis di 1,2% dan ROE di 5,3%.

Diharapkan dengan masuknya perusahaan ke industri-industri seperti makanan alami, pengolahan limbah, dan produk berbasis sulfur, kinerja ini dapat ditingkatkan karena ekspektasi permintaan yang besar.


Tapi, secara jangka panjang, Lautan Luas telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan di semua sektor pendapatannya. Pertumbuhan ini ditopang oleh struktur pendanaan yang seimbang antara ekuitas dan liabilitas. Rasio liabilitas jangka panjang terhadap ekuitas cukup rendah yaitu 0,81x dengan total utang tidak sampai Rp 1 triliun. Sementara itu kemampuan membayar utang cukup tinggi, mencapai 2,23x. 

 Harga saham LTLS kini adalah Rp 700 yang mencerminkan PBV 0,4x dan PER yang rendah 7,89x. Sementara harga tertinggi yang pernah dicapai LTLS adalah Rp 990.

Nipress Melakukan PUT untuk Mendukung Ekspansi ke Aki Industri

 Jakarta, 18 November 2013 – PT Nipress, Tbk (NIPS) melakukan penawaran umum terbatas  (PUT) I sebesar Rp 260 miliar untuk pembangunan pabrik, pembelian mesin, dan modal kerja. Semuanya akan digunakan untuk mendukung upaya perusahaan ekspansi ke aki industri

PUT ini membuat kapitalisasi pasar NIPS akan berada di sekitar Rp 500 miliar. Kisaran harga yang ditawarkan adalah antara Rp 350-450 per saham.

PT Tritan Adhitama Nugraha sebagai pemegang saham mayoritas telah menyatakan kesanggupan untuk membeli Rp 130 miliar. Apabila Tritan mengambil semua hak ini, Tritan akan memiliki 45,5% saham Nipress. Kini Tritan memiliki 37,11%.

Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan pabrik dan pembelian mesin senilai Rp 148,2 miliar, dan modal kerja senilai Rp 111,8 miliar. Pembangunan pabrik Nipress adalah untuk memasuki bisnis aki industri, di samping tetap mempertahankan pasarnya di aki mobil dan motor. Tahun ini, kontribusi aki industri terhadap total penjualannya melesat menjadi 28% dari 3,7% di tahun sebelumnya. Sedangkan kontribusi aki mobil menjadi menyusut menjadi 54%.

Aki industri merupakan bisnis yang menjanjikan untuk Nipress. Aki industri dibutuhkan terutama pada pembangkit listrik tenaga matahari dan tenaga air hidro yang makin meluas. Kemudian aki industri juga makin dibutuhkan dengan makin meningkatnya industri manufaktur mikro di daerah-daerah yang sering mengalami putus listrik.

Sampai dengan triwulan ketiga, Nipress mencatatkan pertumbuhan yang menarik dari sisi pendapatan dan laba bersih. Pertumbuhan pendapatan tercatat 41% menjadi Rp 684,68 miliar dan pertumbuhan laba bersih 97,5% menjadi Rp 31,24 miliar. Hal ini membuat ROE Nipress mencapai 17,9%. Karena Nipress adalah satu-satunya emiten produsen aki di BEI, maka tidak ada komparasi.