Sunday, January 12, 2014

Penggerak Saham-saham Paska IPO – Seri 2 dari 2 tulisan

Jakarta, 13 Februari 2014 – Jika sebelumnya kita telah mendiskusikan saham-saham apa saja yang naik paska IPO, baik harga maupun likuiditas, maka untuk mengetahui bagaimana mempertahankan nilai saham paska IPO, kita akan melihat pula saham-saham apa saja yang turun paska IPO.





Saham yang turun paling tajam paska IPO 2012-2013 adalah PT Toba Bara Sejahtera, Tbk (TOBA) yang adalah saham pertambangan batubara. Pada saat Toba Bara IPO, harga batubara memang sangat lemah, menekan seluruh saham-saham terkait batubara. Walaupun demikian, saham TOBA tetap tertekan dibandingkan indeksnya, yaitu dengan selisih 27,6% lebih dalam.

Satu hal yang dapat disimpulkan dari kenapa pelaku pasar segan mengambil saham ini karena industrinya memang sedang tertekan dan ekspektasi ke depan masih sangat kabur. Dalam kondisi seperti ini, investor kalaupun bersedia mengambil risiko di industri ini maka pasti akan memilih saham-saham dengan jejak rekam (track record) yang baik, risiko likuiditas kecil, dan kapitalisasi pasar lebih besar. Ketiganya tidak dimiliki oleh Toba Bara yang IPO dengan kapitalisasi pasar Rp 3,82 triliun.

Untuk mengkonfirmasi, kita perlu melihat PT Baramulti Suksessarana, Tbk (BSSR) yang juga baru IPO dengan kapitalisasi pasar tidak terlalu jauh yaitu Rp 5,21 triliun, kecil dibandingkan raksasa-raksasa tambang batubara lainnya. Tapi Baramulti dapat mempertahankan harga sama dengan saat IPO atau lebih baik daripada kinerja indeks dalam periode yang sama.

Sebenarnya melihat dari pergerakannya, Baramulti mengalami tekanan yang sangat buruk pada bulan April 2013 ketika harganya mendadak jatuh ke Rp 1.410 dari harga IPO Rp 1.950, dengan likuiditas yang nyaris tidak ada. Tidak ada yang luar biasa ketika melihat di transaksi broker. Tapi harga jatuh sedemikian jauh mungkin disebabkan karena kebutuhan dana segera dari pihak investor, walaupun jumlahnya tidak signifikan, dan tidak adanya likuiditas. Total volume transaksi yang terjadi dalam 2 minggu transaksi pada waktu harga bergerak itu hanya 205 lot.

Saham kedua yang tertekan paling dalam adalah PT Steel Pipe Industry of Indonesia, Tbk (ISSP) dari harga IPO Rp 295 menjadi hanya Rp 144 di akhir 2013. Likuiditas saham ini cukup baik dan pemberitaan tentang perusahaan, baik kinerja maupun rencana ke depan, relatif stabil dan konsisten.

Akan tetapi kapitalisasi pasar yang sangat kecil, hanya sedikit di atas Rp 1 triliun menjadi pertimbangan yang memberatkan ISSP dibandingkan dengan saham-saham sejenisnya yaitu PT Krakatau Steel (Persero), Tbk (KRAS) dan PT Gunawan Dianjaya Steel, Tbk (GDST). Apalagi industrinya adalah industri yang cenderung defensif, bermarjin kecil karena bergerak di pengolahan bahan baku, serta sangat tergantung kepada bahan mentah pertambangan.

Saham berikutnya adalah PT Semen Baturaja, Tbk (SMBR) yang walaupun kinerja fundamentalnya serta rencana ekspansinya bagus, tetap tertekan sebesar 41%. Kapitalisasi pasarnya yang jauh lebih kecil dibanding 3 pendahulu raksasanya, serta pangsa pasarnya yang cenderung tidak dikenal oleh investor-investor di Jawa, menjadi faktor penekan yang kuat. Walaupun sebelumnya SMBR ditransaksikan dengan cukup aktif, akan tetapi karena harganya yang tertekan, likuiditasnya menjadi berkurang menjelang akhir 2013.

Analisis-analisis lebih lanjut dari beberapa saham yang mengalami tekanan paska IPO menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1.    Jejak rekam  yang relatif minim dari pendatang-pendatang baru di bursa, terutama bila memiliki kompetitor di bursa saham, akan cenderung menekan harga saham tersebut
2.    Kapitalisasi pasar yang kecil dibandingkan dengan emiten-emiten lain yang bergerak di bidang yang sama juga cenderung akan menjadi pertimbangan investor
3.    Kondisi industri akan sangat menentukan terutama ketika ada pilihan-pilihan lainnya di bursa saham
4.    Risiko likuiditas yang biasa membayangi perusahaan dengan jejak rekam minimal, kapitalisasi pasar kecil, dan kondisi industri yang relatif flat bahkan tertekan akan menjadi faktor kunci dari tertekan atau tidaknya harga saham paska IPO
5.    Kinerja paska IPO yang terkait dengan bagaimana rencana penggunaan dana IPO dilaksanakan serta kinerja yang dicapai paska penggunaan dana, serta kinerja fundamental dari bisnis-bisnis yang tidak terkait langsung dengan rencana ekspansi, akan menjadi poin pengamatan untuk menentukan nilai saham paska IPO.

Dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari kedua tulisan, maka dapat direkomendasikan bahwa perusahaan-perusahaan paska IPO harus:
1.    Mengkomunikasikan perusahaan secara konsisten dan terarah, baik kinerja dan rencana, untuk menyeimbangkan kekurangan jejak rekam. Komunikasi yang baik diharapkan juga akan mengatasi rintangan akibat kapitalisasi pasar yang kecil serta kondisi industri yang tertekan;
2.    Melakukan stabilisasi harga paska penawaran umum, sesuai yang diatur otoritas, untuk menahan harga pada level IPO
3.    Memiliki ‘anchor investors’ yaitu investor-investor yang dianggap memiliki informasi yang lebih dan kredibel untuk membuat keputusan investasi.