Sunday, November 30, 2014

Triwulan 3 Telkom, terbaik dari sektor telekomunikasi.

Jakarta, 1 Desember 2014 - PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (TLKM) selama triwulan ketiga 2014 ini masih merupakan salah satu yang terbaik dari semua emiten telekomunikasi meskipun hanya tumbuh moderat. Sementara itu beberapa emiten telekomunikasi besar lainnya seperti PT XL Axiata, Tbk (EXCL) dan PT Indosat, Tbk (ISAT) justru dan masih tertekan. Dua operator CDMA juga tertekan akibat pasar CDMA yang kalah dibandingkan dengan GSM sehingga pertumbuhan keduanya lambat.

Sejauh ini hanya Telkom yang mampu mencatatkan perolehan laba sementara kompetitor lainnya justru mengalami kerugian selama triwulan ketiga 2014 ini.

ASCEND melihat, hal tersebut disebabkan oleh beban operasional telekomunikasi yang tinggi pada sektor ini, sementara pertumbuhan industri rendah. Ini membuat beberapa emiten mengalami penurunan profitabilitas dengan ditunjukkan pada penuruan laba sebelum bunga, pajak, penyusutan dan amortisasi (EBITDA)  pada hampir semua emiten telekomunikasi selain Telkom.

Industri telekomunikasi yang telah memasuki level mature atau level jenuh  hanya mampu mendorong pertumbuhan terbatas di beberapa segmen saja. Di sisi lain, beban tidak tertutup sehingga beberapa emiten mengalami penurunan kinerja.


Dibandingkan lainnya, Telkom sejauh ini membukukan kinerja terbaik dengan laba bersih hingga Rp 11,45 triliun atau mengalami pertumbuhan hingga 17,38% y-o-y.

Perolehan laba Telkom ini didukung oleh marjin EBITDA yang signifikan hingga mencapai 58,84%. Sementara beberapa emiten telekomunikasi tercatat membukukan EBITDA margin yang lebih rendah. Kenaikan EBITDA Telkom tersebut seiring dengan produktivitas aset Telkom yang signifikan.

Dibandingkan operator GSM lainnya, Telkom masih menjadi market leader. Telkom membukukan kenaikan penjualan 7,06% menjadi Rp 65,84 triliun dengan didukung oleh pendapatan pemakaian telepon seluler yang mencapai Rp 25,03 triliun dan pendapatan sambungan internet yang mencapai Rp 26,92 triliun. Dua kompetitor GSM lainnya, XL Axiata dan Indosat hanya membukukan pendapatan sebesar masing-masing Rp 16,42 triliun dan Rp 14,29 triliun pada opeasional GSM keduanya. 

Meskipun kinerja profitabilitas positif, TLKM masih dihadapkan beberapa masalah dalam kebijakan perseroan tersebut. Beberapa waktu lalu, saat Telkom akan menjual anak usaha Dayamitra Telekomunikasi kepada Tower Bersama Infrastruktur, Tbk (TBIG) dengan opsi tukar saham yang masih bermasalah karena tidak semua dewan komisaris menyetujui hal tersebut.

Selain itu, Telkom memiliki liabilitas terhadap karyawan yang mencapai hampir Rp 3 triliun dan juga beban pajak tangguhan yang juga mencapai Rp 3 triliun. Keduanya, dimasa mendatang cenderung menjadi beban dan menekan profitabilitas dari Telkom.

Kompetitor Telkom terdekat, XL Axiata yang sebelumnya mencatat profitabilitas tinggi dan kinerja keuangan positif, dalam dua triwulan terakhir menunjukkan tekanan profitabilitas akibat tingginya beban infrastruktur dan beban keuangan.

Beban infrastruktur dan beban keuangan XL Axiata ini meningkat pasca akuisisi dan konsolidasi terhadap AXIS pada awal tahun lalu. Bahkan jika Axis dikonsolidasikan dengan XL Axiata sejak awal tahun, XL akan mencatatkan rugi usaha hingga Rp 5,12 triliun dengan dengan pendapatan sebesar Rp 18,07 triliun.

Namun, dengan akuisisi Axis tersebut, XL akan mendapat pembagian sprektrum gelombang frekuensi radio yang lebih besar dari Telkom, Indosat dan Hutchison sehingga memiliki kapasitas aliran data yang lebih besar dan potensi interferensi signal lebih kecil.

Potensi inilah yang ke depan akan dimiliki XL Axiata. Namun hal tersebut  akan butuh waktu setidaknya dua atau tiga tahun saat kualitas layanan signal diperbaiki, baru dapat diharapkan adanya penambahan pelanggan XL.

Operator lainnya, Indosat, masih menunjukkan tekanan selama triwulan ketiga ini meskipun mencatatkan pendapatan hingga Rp 17,72 triliun atau turun tipis 1% dibandingkan dengan periode tahun lalu, namun pendapatan seluler ini hanya sebesar Rp 14,29 triliun lebih rendah dari Telkom dan XL Axiata.

Secara performa, pada triwulan ketiga ini, EBITDA marjin Indosat lebih baik dari XL Axiata namun lebih rendah dari Telkom sebesar 37,23% setelah beban depresiasi yang turun dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, beban infrastruktur dan layanan telekomunikasi yang naik dan beban keuangan yang meningkat pula, membuat Indosat membukukan kerugian.

Minimnya inovasi disaat industri masuk pada fase mature, membuat Indosat belum mampu mendorong pendapatan, hal ini berbeda dengan Telkom lewat Telkomsel dan XL Axiata. 

Sementara itu, dua operator CDMA, PT Bakrie Telecom, Tbk (BTEL)  dan PT Smart Fren, Tbk (FREN) juga tertekan akibat industri CDMA yang tidak tumbuh hingga saat ini. Keduanya memjajaki kerjasama pembagian pita frekuensi LTE atau teknologi lanjutan CDMA yang masih dalam proses Depkominfo.

Diharapkan paling cepat dua tahun mendatang frekuensi LTE baru akan dapat beroperasi di Indonesia. Namun, hingga saat itu tiba sepertinya operator CDMA masih harus bekerja sama dengan operator GSM dalam mendorong pendapatan lewat bundling paket, akibatnya pertambahan pelanggan operator ini cenderung lambat.

Saham TLKM 28 Nov 2014



Harga Jual Keramik Naik 2% Paska Kenaikan BBM

Jakarta, 1 Desember 2014 – Menyusul kenaikan BBM yang ditetapkan pemerintahan baru, Asosiasi Keramik Indonesia akan mengerek harga jual 2% mulai awal Desember, terutama karena perusahaan keramik terpaksa menanggung biaya distribusi yang lebih besar. Kenaikan harga BBM walaupun berdampak negatif kepada emiten keramik, namun nampaknya belum tercermin di dalam harga saham mereka.

Menurut Asosiasi, kenaikan harga BBM lebih berdampak pada biaya distribusi karena kendaraan untuk mendistribusikan produk keramik ke berbagai daerah masih menggunakan BBM solar bersubsidi. Hal itu berbeda dengan proses produksi pabrik yang sudah menggunakan BBM industri. Kenaikan harga BBM itu menyulut permintaan para distributor untuk meningkatkan juga tarif pengangkutan hingga 30%.
 
Terlihat dari tabel bahwa biaya pengangkutan terhadap pendapatan pada masing-masing emiten keramik berbeda-beda, berkisar dari yang paling kecil hanya 0,57% sampai kepada yang terbesar 28,82%, dengan rata-rata 9,30%.

Tampak pula bahwa tahun ini emiten-emiten keramik banyak mengalami pertumbuhan pendapatan. Hanya ada satu emiten, yaitu PT Keramika Indonesia Asosiasi, Tbk (KIAS) yang mengalami penurunan pendapatan karena hilangnya banyak bisnis dari pihak ketiga, sehingga penjualan Keramika hanya ditopang penjualan kepada pihak berelasi.

Walaupun pendapatan bertumbuh, PT Intikeramik Alamasri Industri, Tbk (IKAI) malah mengalami rugi bersih sebesar Rp 11,94 miliar, atau Rp 15,09 per lembar. Intikeramik telah mencatatkan rugi selama beberapa tahun terakhir.  

Emiten keramik berkapitalisasi terbesar, yaitu PT Arwana Citramulia, Tbk (ARNA), memiliki kinerja profitabilitas tertinggi dengan marjin laba bersih 16,7%, jauh di atas rata-rata 7,78% dan imbal hasil atas ekuitas (ROE) mencapai 71%. Dengan utang yang lebih rendah daripada rata-rata, Arwana ditransaksikan pada PBV tertinggi dibandingkan emiten-emiten keramik lainnya, yaitu sampai dengan 8,14 kali.

Pelaku usaha keramik juga menyebutkan tantangan sebelumnya adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah lebih dahulu menekan beban produksi. Sejak Juli sampai November, mereka mengaku biaya energi sudah naik 40%. Kenaikan biaya energi tersebut lantas mengerek beban produksi sebesar 5%.


Paska menaikkan harga jual Desember nanti, pelaku usaha masih optimistis bisa mencatatkan pertumbuhan penjualan di kuartal IV. Katalis positifnya adalah anggaran proyek pemerintah yang cair di semester II, biasanya dibelanjakan di kuartal IV.

Pergerakan Saham Arwana Citramulia (ARNA)