Friday, July 26, 2013

Laba Bersih Tumbuh 30,2%, Namun Kredit Bermasalah Tetap Tinggi



Jakarta, 26 Juli 2013 - Selama semester pertama 2013, Bank Negara Indonesia, Tbk. (BBNI) membukukan kenaikan laba bersih 30,2%. Capaian kenaikan laba itu akibat kenaikan pendapatan bunga bersih dan pendapatan berbasis layanan perbankan. Tetapi, kredit bermasalah BNI tetap tinggi yaitu sebesar Rp. 5,43 triliun dengan kredit macet atau kredit kolektivitas golongan 5 sebesar Rp. 3,8 triliun. 

Laba bersih BBNI tumbuh menjadi Rp. 4,3 triliun dibandingkan kuartal kedua lalu sebesar Rp. 3,3 triliun. Kenaikan laba didukung dari pendapatan bunga bersih tumbuh 23,1% menjadi sebesar Rp. 8,9 triliun dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp. 7,2 triliun. Pertumbuhan laba juga didorong oleh pendapatan berbasis layanan perbankan naik 22% menjadi Rp. 4,6 triliun dari Rp. 3,7 triliun year on year. Beban operasi yang hanya naik 21% atau di bawah kenaikan pendapatan bunga dan operasi menjadi sebesar Rp. 6,6 triliun mendorong laba naik lebih tinggi. 



Di sisi lain, kredit bermasalah BNI tetap tinggi di antara top 10 bank terbesar. Tercatat kredit kredit yang masuk non performing loan (NPL) atau kredit tidak lancar, diragukan dan macet sebesar Rp. 5,43 triliun dengan rasio gross NPL 2,6% terbilang tinggi. Jika dibandingkan dengan 10 bank dengan aset terbesar, kualitas kredit BNI pada urutan ke-9 dari 10  bank. Rata-rata gross NPL 10 bank sebesar 1,84%. 

Kredit bermasalah baru yang terjadi selama semester pertama tahun ini sebesar Rp. 1,52 triliun, sedangkan hapus buku NPL lama sebesar Rp. 1,57 triliun. Menurut Managing Director Enterprise Risk Management BBNI, NPL BNI saat ini sebagian merupakan sisa warisan kredit macet pada periode lalu dan sebagian lagi kredit macet baru dengan kredit macet segmen UKM naik menjadi 5,5%. Terkait legacy non performing loan di masa lalu, BBNI tidak menjelaskan detil. 

Meskipun NPL tinggi, coverage ratio BBNI naik menjadi 123% dengan Cadangan Penurunan Kerugian Nilai (CPKN) naik menjadi Rp 6,7 triliun. Recovery kredit macet tercatat sebesar Rp 1,2 triliun selama semester pertama ini, sedangkan rasio recovery kredit terhadap hapus buku kredit sebesar 78%. 

AFN melihat bahwa kinerja BNI masih dibebani oleh tingginya kredit bermasalah. Walaupun tren dalam penurunan, namun nilai tersebut masih tinggi dibanding rata-rata industri. Kondisi ekonomi dunia termasuk Indonesia yang sedang mengalami perlambatan berpotensi menambah nilai kredit bermasalah baru BNI. BNI perlu lebih pruden menyeleksi calon debitur untuk penyaluran kredit. 

Rencana BNI kedepan

Dalam ekspansinya kedepan untuk meningkatkan layanan nasabah, BBNI tidak akan menambah kantor cabang baru selama 2013 karena akan  fokus memaksimalkan aset yang ada. Namun, BBNI akan menambah 2.650 mesin ATM, cash deposit machine dan ATM non-tunai. Saat ini tercatat BBNI memiliki 8.441 mesin ATM.  

BBNI dalam paparannya menargetkan pertumbuhan kredit selama 2013 sebesar 25% namun, pertumbuhan kredit year to date baru mencapai 11%. Pertumbuhan business banking ditargetkan naik 23% baru tercapai 10% sementara konsumer dan ritel ditargetkan naik 29% hanya naik 11,3% ytd. Selain itu, Deposito diharapkan naik 18%, saat ini baru naik 2,4%. CASA ditargetkan naik 18% hanya tumbuh 2,5% dan recurring fee ditargetkan naik 15% hanya naik 8,7%. 

Kredit yang disalurkan BNI naik 24,1% menjadi Rp. 223 triliun dari sebelumnya Rp 179 triliun selama semester pertama. Komposisi kredit masih didominasi oleh sektor korporat sebesar 42,5% atau senilai Rp. 95 triliun. Sementara untuk sektor usaha kecil mencapai Rp. 37 triliun atau sebesar Rp. 16,7% dari komposisi kredit. Kredit konsumer BBNI tercatat sebesar Rp. 46 triliun atau sebesar 20,6% dengan 67,7% diantaranya untuk mortgage loan. Tercatat mortgage loan sebesar Rp. 29 triliun. Rata-rata untuk kredit mortgage loan per account sebesar Rp. 458 miliar. 

Dari sisi dana yang terhimpun dari masyarakat pada kuartal kedua 2013 ini naik tipis 8,7% menjadi Rp. 263 triliun dibanding kuartal kedua tahun lalu Rp. 243 triliun. Komposisi dana pihak ketiga sebesar 67% didominasi oleh giro dan tabungan yang memiliki biaya keuangan yang rendah. Namun, jika dibandingkan dengan akhir lalu, komposisi tabungan turun dari 39%  menjadi 37%. Hal ini menurut Managing Director Business Banking BBNI, telah terjadi penurunan tabungan bisnis yang signifikan karena nasabah mengalihkan portofolionya kedalam aset yang lebih terlindung dari inflasi di saat beban inflasi dan perlambatan ekonomi membayangi Indonesia. Tercatat tabungan BBNI sebesar Rp. 95 triliun, giro sebesar Rp. 82 triliun dan deposito sebesar Rp. 87 triliun dengan cost of funding ratio 2,3% atau turun dari akhir tahun 2012 lalu sebesar 2,7%.

BNI juga dikabarkan akan menjual anak perusahaan asuransi BNI Life. Salah satu yang dikabarkan tertarik adalah Sumitomo Mitsui Financial. Penawaran ini masih berlangsung. Dalam paparannya pada analyst meeting hari ini, direksi BNI belum bersedia berkomentar terhadap aksi korporasi pelepasan anak usaha ini. 

Sementara itu, kinerja secara keseluruhan akan tercermin pada kuartal ketiga dan kuartal keempat paska kenaikan suku bunga acuan oleh BI. Kenaikan suku bunga akan menekan net interest margin jika tidak disesuaikan juga, namun disisi lain jika bunga kredit naik target kredit tersalurkan berpotensi tidak tercapai. Ancaman inflasi yang tinggi sepertinya akan menekan dana pihak ketiga seperti deposito yang cenderung memindahkan portofolio lain yang memiliki imbal hasil lebih tinggi dan relatif aman seperti emas atau properti.

Laba Adi Sarana Naik 3 Kali, tapi ROE hanya 2,7%

Jakarta, 26 Juli 2013 - Adi Sarana Armada, Tbk (ASSA), perusahaan yang bergerak di jasa penyewaan kendaraan, pada semester I-2013 ini telah membukukan kenaikan laba 3 kali lipat menjadi Rp 43,16 miliar. Pertumbuhan laba ini didukung oleh peningkatan pendapatan sebesar 40% dan penurunan biaya keuangan 15,4%. Akan tetapi imbal hasil atas ekuitas perusahaan hanya 2,7%.


Kenaikan laba bersih Adi Sarana sebesar 3 kali lipat menjadi Rp 43,16 miliar dari sebelumnya Rp 10,59 miliar disumbangkan oleh peningkatan pendapatan. Pendapatan ASSA meningkat 40% menjadi Rp 494,68 miliar dari Rp 353,61 miliar. Peningkatan terbesar terjadi pada penjualan kendaraan bekas yang meningkat hampir 2 kali lipat menjadi Rp 113,25 miliar serta jasa logistik yang juga hampir 2 kali lipat menjadi Rp 66,27 miliar.

Biaya operasional naik lebih tinggi dibandingkan pendapatan, tetapi laba bersih melonjak karena berkurangnya biaya-biaya keuangan menjadi hanya Rp 54,90 miliar dari sebelumnya Rp 64,88 miliar. Hal ini disebabkan karena penurunan pinjaman bank dari Rp 926,82 miliar menjadi Rp 790,64 miliar.

Kenaikan laba yang tajam ini sayangnya tidak mampu mengangkat imbal hasil atas ekuitas (ROE) perusahaan yang hanya 2,7%. Hasilnya, harga saham perusahaan terus meluncur turun sejak IPO di Rp 390 menjadi hanya Rp 290/ saham.

AFN melihat bahwa ROE yang rendah ini disebabkan karena beberapa hal yaitu:
1. Belum efektifnya operasi armada yang baru dibeli dengan dana IPO. Diharapkan bila armada baru sudah mulai efektif, ROE akan membaik. Realisasi penggunaan dana IPO baru selesai
2. Besarnya beban pokok pendapatan yang besarnya 67% dari pendapatan, terutama biaya penyusutan yang nilainya adalah 23% dari jumlah pendapatan.

Karenanya, AFN melihat bahwa ASSA akan sulit mengembangkan dirinya dengan model bisnis yang sekarang. ASSA perlu mencari model-model bisnis baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi investornya.


Rupiah Melemah atau Mencari Keseimbangan Baru

Bloomberg: Pelemahan Rupiah atas US Dollar
Jakarta, 26 Juli 2013 - Rupiah telah melemah hingga mencapai Rp. 10.262 atau melemah 5,8% dibanding dengan akhir tahun 2012. Gubernur Bank Indonesia (BI)

menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah seiring dengan pergerakan mata uang kawasan sehingga diharapkan Rupiah kembali dalam level dibawah 10.000 setelah dilakukan intervensi. Namun, jika didasarkan data fundamental makroekonomi yang melemah sepertinya pergerakan Rupiah di level 10.000 akan bertahan dalam jangka waktu lama.
Pelemahan Mata Uang Kawasan Asia terhadap Dollar

Tren pelemahan mata uang terhadap Dollar AS yang tidak hanya dialami oleh Rupiah, namun terjadi juga oleh mata uang regional lain. Yen Jepang adalah yang paling melemah terhadap Dollar AS. Akhir tahun 2012 lalu Yen tercatat sebesar 86,75 sedangkan 25 Juli 2013 tercatat nilai tukar Yen terhadap Dollar AS sebesar 99,67 poin. Mata uang India, Rupee juga melemah terhadap Dollar AS sebesar 8,67%, saat ini Rupee pada level 59,13 poin. China Yuan justru satu-satunya mata uang regional yang menguat terhadap Dollar AS sebesar 0,16%. Yuan berada pada level 6,14 poin.

Apakah Rupiah mencapai keseimbangan baru, atau pelemahan ini hanya sekedar sementara saja?

Fundamental ekonomi RI melemah akan mendorong Rupiah pada level keseimbangan baru. Indikasinya memang demikian. Impor bahan bakar minyak yang meningkat, naik 22% yoy sebesar US$ 19 juta pada bulan Mei, membuat defisit neraca perdagangan dan mendorong kebutuhan valuta asing dalam negeri. Konsumsi minyak nasional ekuivalen 1,4 juta barel perhari sedangkan produksi nasional 850 ribu barel perhari dengan cadangan yang semakin tipis sehingga impor akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Neraca perdagangan RI hingga bulan Mei pun defisit US$ 2,29 miliar. Diprakirakan neraca perdagangan sampai dengan kuartal kedua masih mengalami defisit hingga US$ 6,6 miliar. Defisit neraca perdagangan tahun 2012 mencapai US$ 24 miliar atau 2,7% dari total PDB. Rasio hutang jangka pendek RI terhadap cadangan devisa pun mencapai 40%. Cadangan devisa RI tercatat pada bulan Juni 2013 lalu sebesar US$ 98,1 miliar atau setara dengan 5,4 bulan impor. Utang perusahaan swasta juga telah mencapai US$ 128 miliar, angka yang mengkuatirkan dan mungkin tidak dapat turun signifikan. Tambahan lagi, tekanan inflasi yang diprakirakan mencapai 8,1% di akhir tahun. Parameter tersebut menunjukkan tekanan terhadap kondisi fundamental ekonomi RI sehingga berpotensi menggeser keseimbangan nilai tukar Rupiah kearah 10.000 poin.

Namun BI menilai melemahnya Rupiah yang terjadi sejak pertengahan Mei lalu hanya bersifat sementara. Di saat the Fed yang menyatakan akan menghentikan program stimulusnya secara bertahap, arus modal asing keluar dari emerging market termasuk Indonesia menyebabkan bursa saham terkoreksi akibat aksi jual asing yang signifikan. Hal ini menyebabkan permintaan Dollar semakin tinggi dikarenakan Asing yang mengubah portofolionya. Asing pun lebih nyaman memegang Dollar yang dinilai likuid di pasar dunia. Hasilnya, tercatat capital out flow selama tahun 2013 mencapai US$  4,1 miliar atau Rp 41 triliun yang sebagian besar dari pasar saham. Menurut BI, jika kepercayaan investor global terhadap Indonesia kembali, dengan ditunjukkan investasi langsung global yang meningkat akan kembali mendorong penguatan Rupiah. FDI kuartal kedua 2013 tercatat US$ 7 miliar naik tipis dari kuartal satu tercatat US$ 6,7 miliar.

Dalam upayanya menstabilkan pergerakan nilai tukar Rupiah, terutama terhadap Dollar AS, Bank Indonesia telah dua kali menaikkan suku bunga acuan hingga 75 bps menjadi 6,5%  selama dua bulan terakhir untuk menstabilkan rupiah. Fasilitas pinjaman BI juga dinaikkan menjadi 4,75% dari 4,25%. Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong investasi dan menekan arus modal asing keluar dari Indonesia.

BI juga menggelar operasi pasar untuk menstabilkan Rupiah. Pekan kedua Juli lalu, BI melakukan lelang FX swap untuk pertama kalinya dan rencananya akan dilakukan tiap pekan. Dari target lelang sebesar US$ 500 juta dengan tenor 1, 3 dan 6 bulan, jumlah swap yang dimenangkan BI mencapai US$ 600 juta. Nilai penawaran mencapai US$ 1.240 juta atau melebihi target (oversubscribed). Lelang ini untuk hedging investor di tengah melemahnya nilai tukar rupiah. BI sebagai pihak pihak yang melakukan lelang, sementara bank umum lain yang membutuhkan valas akan menjadi peserta lelang dengan mengajukan penawaran harga. Kebijakan ini dilakukan untuk menekan capital outflow yang akan menggerus devisa RI dan menekan nilai tukar.

Akan tetapi, kalau pelemahan ini adalah karena Rupiah sedang mencari keseimbangan baru, maka upaya-upaya yang dilakukan oleh BI niscaya akan berdampak kecil saja.

Sebagai catatan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS pada level psikologis 10.000, BI dituntut untuk lebih transparan mengelola moneter Indonesia. Tahun 2009 lalu saat terjadi default Bank Century, BI ditengarai lalai dalam upaya tugasnya sebagai pengawas perbankan nasional dan tahun 1998 lalu saat terjadi krisis keuangan, saat itu BI yang masih di bawah otoritas pemerintah menyatakan bahwa ekonomi akan tahan terhadap krisis moneter, pun akhirnya jatuh akibat kesalahan pengelolaan moneter dan pengawasan perbankan.