Wednesday, September 4, 2013

Pemerintah: Rupiah Melemah Hingga 2014, AFN: Rp 10.000 Akan Lama


Jakarta, 4 September 2013 - Menteri Keuangan Chatib Basri dalam Rapat Paripurna DPR menyatakan pergerakan Rupiah akan melemah hingga 2014. Tapi beliau optimistis Rupiah akan menguat kembali hingga mencapai rata-rata nilai tukar pada Rp 9.750 di 2014. Sebaliknya menurut AFN, fundamental makroekonomi menunjukkan Rupiah akan berada di level 10.000 pada waktu yang relatif lama.

Chatib Basri menyebutkan faktor eksternal menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Pertama, kebijakan stimulus moneter AS yang akan dipangkas selambatnya pada akhir kuartal ketiga 2012 ini.

Kedua, kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi negara berkembang seperti China, India dan Brasil yang berpotensi melambat paska berakhirnya stimulus the Fed.

Tiga, faktor kenaikan harga minyak akibat eskalasi ketegangan politik di Timur Tengah.

Keempat, selisih suku bunga acuan BI yang turun dibanding suku bunga di negara-negara lain berpotensi memperbesar arus keluar modal (capital outflow).

Karenanya, Pemerintah yakin Rupiah akan kembali pada 9.750 per Dollar AS di 2014. Untuk itu, pemerintah akan menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat dan mendorong ekspor komoditas andalan.

Beberapa upaya lagi adalah insentif pajak bagi industri padat karya dan padat modal sebesar 30% yang produknya berorientasi ekspor, pelonggaran kuota ekspor mineral dan hasil tambang, kenaikan pajak barang mewah barang impor hingga 125-150% serta memperbesar porsi biodiesel. Pengurangan impor bahan konsumsi dan barang jadi.

Namun AFN melihat bahwa faktor eksternal bukan satu-satunya menekan pergerakan Rupiah hingga “liar”. Sebelumnya dalam riset AFN pernah menyatakan Rupiah saat ini bergeser pada level keseimbangan baru.

Fundamental ekonomi RI melemah akan mendorong Rupiah pada level keseimbangan baru, meningkatnya kebutuhan minyak yang dipenuhi dari impor, defisit neraca perdagangan, inflasi tinggi, utang pemerintah dan swasta tinggi dalam denominasi Dollar AS membuat tekanan terhadap Rupiah.

Defisit neraca berjalan pada semester kedua mencapai 4,4% dari PDB atau sebesar US$ 9,85 miliar. Defisit transaksi minyak dan gas sebesar US$ 5,26 miliar, sementara neraca barang juga mengalami defisit hingga US$ 601 juta dibanding kuartal pertama lalu surplus sebesar US$ 1,6 miliar.  Tambahan lagi, tekanan inflasi yang diprakirakan mencapai 8,1% di akhir tahun.

Defisit neraca perdagangan tahun 2012 mencapai US$ 24 miliar atau 2,7% dari total PDB Utang perusahaan swasta juga telah mencapai US$ 128 miliar, angka yang mengkuatirkan dan tidak dapat turun signifikan dalam waktu dekat. Cadangan devisa pun pada akhir Juli 2013 mencapai US$ 92,67 miliar. Jumlah ini setara dengan 5,2 bulan impor.

Resiko hutang RI sekarang berpotensi meningkat setelah pelemahan Rupiah terhadap Dollar. Pada semester pertama 2013, utang jatuh tempo sebesar US$ 27,78 miliar dengan hutang swasta sebesar US$ 22,27 miliar. Diprakirakan hutang jatuh tempo pada kuartal ketiga akan meningkat signifikan.

Sementara itu, rasio hutang terhadap PDB sebesar 23% dengan debt to services ratio mencapai 41%, artinya 41% ekspor Indonesia digunakan untuk melunasi hutang. Rasio hutang jangka pendek RI terhadap cadangan devisa pun mencapai 40%.

Saat terjadi capital outflow masif, permintaan terhadap US$ naik signifikan, cadangan devisa turun karena sebagian besar dari hasil ekspor komoditas yang juga dalam tren penurunan, maka kebijakan apapun oleh BI dan pemerintah sangat sulit untuk menahan Rupiah menembus Rp. 10.000 poin.

Capital inflow tidak signifikan secara langsung menyumbang GDP Indonesia, karena dilihat 5 tahun terakhir capital inflow lebih banyak masuk ke sektor komoditas, dan menyebabkan produksi komoditas naik signifikan. Cadangan devisa dalam 5 tahun terakhir mayoritas berasal dari sektor tambang.  Namun, sektor tambang dalam setahun terakhir tertekan menyebabkan devisa tertekan. Capital inflow dari dana murah berasal dai QE  sebegian besar masuk pasar saham hanya sedikit yang masuk sektor riil dan memperbesar risiko fundamental ekonomi RI.

Dari semua factor ini, maka AFN merekomendasikan supaya investor lebih waspada terhadap pelemahan nilai Rupiah, dan mendiskon angka yang diberikan dari Pemerintah untuk menjaga portofolio aset agar tetap solid.

No comments:

Post a Comment