Tuesday, March 10, 2015

Emiten Elektronik Melemah Paska Pelemahan Rupiah

Jakarta, 10 Maret 2015 – Beberapa emiten terkait elektronik mengalami tekanan pada harga sahamnya paska pelemahan Rupiah. Emiten-emiten ini akan sangat terpukul karena banyak melakukan impor dengan valas dan belum tentu dapat mengalihkan kerugian valas tersebut kepada harga jual produknya.

Pelemahan Rupiah sampai di atas Rp 13.000/US$ akan melemahkan kinerja perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku impor, salah satunya adalah emiten terkait elektronik. Produk elektronik masih memiliki banyak komponen impor, walaupun beberapa di antaranya merupakan merek lokal. Komponen impor ini akan memberikan tekanan besar kepada kinerja perusahaan.

Beberapa emiten yang menjual alat-alat elektronik bermerek lokal tidak mampu untuk menaikkan harga jualnya, sementara emiten yang fokus di alat elektronik bermerek, seperti iPhone masih dapat mengalihkan dampak pelemahan Rupiah kepada harga jualnya. Produk iPhone 6 misalnya kini dihargai Rp 11,3 juta, atau naik dari harga sebelumnya Rp 10,8 juta untuk 16 gigabyte (GB). Demikian juga harga beberapa alat elektronik lain seperti Mouse merek Logitech juga ikut naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 170.000 dan  keyboard merek Logitech, dari harga Rp 250.000 menjadi Rp 270.000.

Pasar saham sudah sejak beberapa waktu lalu mendiskon harga saham emiten-emiten elektronik. Lihat saja PT Erajaya Swasembada, Tbk (ERAA) yang sudah turun 17,2% ke Rp 1.035/ lembar sejak harga tertingginya di 2015, Rp 1.250/lembar. PT Tiphone Mobile Indonesia, Tbk (TELE) turun 9,05% ke Rp 955 dari Rp 1.050, harga rekor tertingginya.

Rupiah sendiri diperkirakan masih akan melemah lagi karena penguatan dolar AS, terutama bila terjadi peningkatan suku bunga oleh The Fed di bulan Juni seiring dengan makin jelasnya pemulihan ekonomi yang terjadi di AS.


Pemerintah sendiri terlihat tidak kuatir dengan pelemahan Rupiah ini, dan walaupun Bank Indonesia terlihat melakukan beberapa gerakan, namun gerakan itu sendiri tidak agresif. Kerangka pemikiran pemerintah adalah bahwa pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang terlalu berbiaya besar bila harus ditahan oleh BI, sementara kondisi pelemahan ini dirasa tidak sistemik (berpotensi mengakibatkan keruntuhan sistem ekonomi Indonesia). 

Thursday, March 5, 2015

Kinerja Bank BTN Terendah, Target M&A bagi Bank BUMN Lain

Jakarta, 5 Maret 2015 – Empat bank BUMN telah mengeluarkan laporan keuangan tahunannya dengan pertumbuhan positif dan kinerja yang baik di tengah situasi ekonomi makro yang kurang kondusif, kecuali PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BBTN).

Pertumbuhan rata-rata pendapatan bunga bersih ketiga bank BUMN terbesar adalah di atas 20%, kecuali Bank BTN yang sedikit di bawah yaitu 18,77%. Rasio-rasio kinerja Bank BTN juga terlihat di bawah rata-rata ketiga bank BUMN lainnya. NPL Bank BTN lebih tinggi daripada rata-rata di mana NPL Gross mencapai 4,01% sementara ketiga bank lainnya di bawah 2%. Rasio return on equity (ROE) hanya 10,66%, sementara lainnya di atas 20%. Marjin pendapatan bunga (NIM) hanya 4,47% sementara lainnya di atas 5%. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional juga mendekati 90% sementara lainnya di bawah 70%.

Kinerja Bank BTN yang di bawah rata-rata bank BUMN ini menjadi salah satu alasan tidak dilibatkannya lagi Bank ini di dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah menjadi salah satu cara bank untuk meningkatkan kinerja penanganan risikonya tanpa peningkatan modal minimum (CAR).

Kegagalan Bank BTN untuk menyamai kinerja bank BUMN lain walaupun sama-sama menghadapi tantangan ekonomi makro yang sama, mungkin akan meningkatkan willingness pemerintah untuk menyatukan Bank BTN dengan bank lainnya, seperti PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BBNI).

Wacana merger ini memang meresahkan karyawan Bank BTN setelah dikibarkan kembali oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro setelah upaya merger dengan PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI) dibatalkan dengan keputusan presiden pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Namun dengan keterbatasan manajemen Bank BTN pada saat ini untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya secara signifikan, maka pemerintah sebagai pemilik saham terbesar, sekaligus pemangku kepentingan untuk mempertahankan industri perbankan nasional, harus mencari cara agar merger antara bank BUMN dapat berhasil.


Sebelumnya ASCEND telah merekomendasikan merger antara Bank Mandiri dan Bank BNI tetap diteruskan walaupun ada berbagai pro dan kontrak. [baca: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html] Padahal kedua bank tersebut memiliki kinerja yang kurang lebih sama, sehingga proses seleksi akan jauh lebih rumit. Maka seharusnya merger antara salah satu bank BUMN dengan Bank BTN akan berlangsung dengan lebih mudah, baik dari sisi bisnis maupun dari sisi akuisisi kompetensi.


Thursday, February 26, 2015

Laba Adhi Karya Turun, Cermati Harganya

Jakarta, 27 Februari 2015 – PT Adhi Karya (Persero), Tbk (ADHI), BUMN yang bergerak di bidang konstruksi infrastruktur,  mencatatkan penurunan laba 20% tertekan oleh penurunan pendapatan 12%. Laba bersih juga turun karena kenaikan beban pokok pendapatan, penurunan pendapatan bersih venture bersama konstruksi, kenaikan beban usaha, dan tidak adanya penjualan asset seperti tahun lalu.

Pendapatan Adhi Karya turun 12% menjadi Rp 8,65 triliun dibandingkan tahun lalu Rp 9,80 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan pendapatan di segmen konstruksi sebesar 9%; yang walaupun bukan merupakan penurunan terbesar, namun karena kontribusinya yang signifikan membuat penurunan segmen ini cukup signifikan dampaknya bagi Perseroan. Konstruksi turun menjadi Rp 7,27 triliun dari sebelumnya Rp 8,0 triliun.

Sementara itu segmen EPC mencatatkan penurunan terbesar 54% menjadi Rp 863,12 miliar dari sebelumnya Rp 1,89 triliun. Kontribusi segmen ini turun dari sebelumnya 18% menjadi hanya 9%. Real Estate dan Properti mencatatkan kenaikan pendapatan 22% menjadi Rp 858,8 miliar dari sebelumnya Rp 705,5 miliar. Tahun ini ada segmen pendapatan baru yang dicatat oleh Perseroan, yaitu dari investasi infrastruktur.

Pendapatan usaha dari beberapa pelanggan besar tetap Adhi Karya tahun ini turun secara signifikan. Pendapatan dari PT Pertamina tahun ini hanya Rp 681,74 miliar dibandingkan sebelumnya Rp 1,52 triliun. Dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) turun menjadi hanya Rp 271,43 miliar dari sebelumnya Rp 645,72 miliar. Dari PT Angkasa Pura II juga turun menjadi hanya Rp 267,36 miliar dari sebelumnya Rp 700,88 miliar.

Namun Adhi Karya berhasil mendapatkan pekerjaan dari beberapa perusahaan swasta baru, seperti PT Cengkareng Business Centre sebesar Rp 349,55 miliar; PT Rita Ritelindo sebesar Rp 94,84 miliar, dan RS Atma Jaya sebesar Rp 94,70 miliar.

Pendapatan bersih venture bersama konstruksi Perseroan tahun ini juga turun 66,3% menjadi hanya Rp 18,39 miliar dari sebelumnya Rp 54,6 miliar. Hal ini menyebabkan laba kotor Perseroan setelah laba ventura bersama turun 18,5% menjadi hanya Rp 1,02 triliun dari sebelumnya Rp 1,25 triliun.

Laba penjualan asset tetap juga turun jadi hanya Rp 183,42 juta dari sebelumnya Rp 10,16 miliar. Tahun 2013, Adhi Karya menjual asset dengan nilai tercatat Rp 2 miliar dengan harga jual Rp 12,14 miliar. Sementara tahun ini walaupun Perseroan juga menjual asset senilai buku Rp 1,33 miliar, namun harga jualnya tidak jauh dari nilai buku tersebut, yaitu Rp 1,51 miliar.

Beban usaha naik 9,7% menjadi Rp 361,18 miliar dari sebelumnya Rp 328,96 miliar, terutama disebabkan oleh kenaikan beban pengawai, beban umum, dan beban penyusutan.

Penurunan pendapatan dan laba bersih ini telah mengakibatkan penurunan marjin laba kotor dan marjin laba bersih serta imbal hasil atas ekuitas, namun marjin EBITDA naik sedikit. Tingkat perputaran asset juga turun karena asset Rp 1 tidak menghasilkan pendapatan sebesar tahun lalu.

Rata-rata hari piutang yang meningkat dan hari utang usaha yang meningkat juga perlu diwaspadai sebagai salah satu strategi Perseroan berkapitalisasi Rp 6,2 triliun ini untuk mencari solusi atas kesulitan arus kas yang mungkin dialami. Hal ini tampak dari arus kas operasional yang tahun ini negative Rp 978,23; artinya operasi Adhi Karya telah membuat kas keluar dari kantong perusahaan.


Dengan harga saham yang mencerminkan Rasio Harga atas Laba sampai 19,12 kali dan Rasio Harga atas Nilai Buku sampai 3,54 kali, saham berkode ADHI ini adalah salah satu saham yang perlu dicermati secara hati-hati oleh investor. Optimisme akan guyuran proyek infrastruktur yang dianggarkan oleh Pemerintah Joko Widodo dan disahkan oleh DPR barusan, dan penambahan modal yang telah disetujui oleh DPR, belum tentu akan membuat kinerja perusahaan ini membaik secara signifikan. 

Wednesday, February 25, 2015

Astra Graphia Catat Laba Naik 25% karena Penurunan Biaya Pendapatan dan Penjualan Investasi

Jakarta, 26 Februari 2015 – PT Astra Graphia, Tbk, anak perusahaan Grup Astra yang bergerak di bidang solusi dokumen dan solusi teknologi informasi dan komunikasi, mencatatkan pertumbuhan laba bersih sampai dengan 25% dengan hanya didorong pertumbuhan pendapatan 1%. Kenaikan laba bersih ini didorong juga oleh keuntungan dari divestasi, keuntungan selisih kurs, dan penurunan biaya pendapatan.

Pendapatan Perseroan pada tahun 2014 tercatat Rp 2,28 triliun dari sebelumnya Rp 2,26 triliun. Pendapatan tersebut berasal dari dua bidang utama Perseroan yaitu Solusi Dokumen, senilai Rp 1,44 triliun atau 63% dari total pendapatan; dan Solusi Teknologi Informasi dan Komunikasi senilai Rp 907,04 miliar.

Laba kotor Perseroan tercatat naik 4% menjadi Rp 681,83 miliar terutama karena penurunan biaya pendapatan di bisnis Solusi Dokumen sampai dengan 7,58% menjadi hanya Rp 872,03 miliar dari sebelumnya Rp878,69 miliar. Padahal pendapatan dari Solusi Dokumen naik 2%.

Bersamaan dengan itu, Perseroan juga menjual investasi pada entitas joint venturenya. PT Agit Monitise Indonesia (PT AMI) adalah entitas yang didirikan bersama-sama oleh Perseroan dan Monitise Asia Pacific Limited, Hong Kong pada tahun 2011, di mana saham Perseroan adalah 51%.  PT AMI bergerak di bidang penyediaan platform yang mampu memberi dukungan software dan solusi terhadap layanan mobile banking, mobile payment dan mobile commerce bagi bank, lembaga keuangan, serta mobile operators, dan mobil wallets bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. Sampai dengan Juni 2014, PT AMI mencatatkan pendapatan Rp 246 juta dan jumlah asset Rp 59,23 miliar.

Pada Juni 2014, Perseroan menjual saham PT AMI kepada partnernya, Monitise Plc, senilai US$ 12,02 juta atau sekitar 150,25 miliar. Tapi karena Perseroan membeli lisensi perangkat lunak yang dimiliki oleh PT AMI dan ada layanan 3 tahun yang akan diberikan oleh Perseroan kepada PT Monitise Mobile Indonesia, maka hasil penjualan bersih dari PT AMI adalah Rp 68,78 miliar. Keuntungan penjualan joint venture ini mencapai Rp 43,37 miliar.

Selain itu Perseroan juga mencatatkan keuntungan selisih kurs Rp 3,60 miliar, dimana tahun lalu pos tersebut negative Rp 11,63 miliar.

Kombinasi ketiganya menghasilkan peningkatan laba bersih 25% menjadi Rp 260,22 miliar atau Rp 192,93/lembar.

ASCEND juga mengamati bahwa ada peningkatan utang dan beban keuangan yang cukup signifikan pada tahun 2014. Utang jangka panjang naik menjadi Rp 59,47 miliar dari sebelumnya Rp 47,96 miliar karena sewa pembiayaan. Tanggal 25 Maret Perseroan kembali melakukan perjanjian pembiayaan 3 tahun dengan PT Hewlett-Packard Finance Indonesia untuk pembelian mesin server sebesar Rp 30 miliar.

Akibatnya beban keuangan naik dua kali lipat menjadi Rp 5,54 miliar dari sebelumnya Rp 1,40. Rasio EBITDA terhadap beban keuangan turun jadi 84,17 kali dari sebelumnya 276,17 kali. Posisi keuangan paska kenaikan utang ini masih sangat kuat.  


Dengan rasio harga terhadap laba (P/E) sebesar 10,13 kali dan harga terhadap nilai buku (PBV) sebesar 2,92 kali, maka pasar masih terlihat apresiatif terhadap saham Astra Graphia yang berkapitalisasi Rp 2,64 triliun ini. Terbitnya laporan keuangan segera mendorong harga saham perusahaan berkode ASGR ini 6,48% ke Rp 1.970, bahkan sempat menyentuh Rp 2.050 (10,81%).

 

Tuesday, February 24, 2015

Darma Henwa Catatkan Laba Bersih

Jakarta, 25 February 2015 – PT Darma Henwa, Tbk (DEWA) akhirnya mencatatkan laba bersih setelah mengalami 3 tahun kerugian berturut-turut. Laba bersih tercatat US$ 356.705 atau Rp 0.20/lembar, didorong oleh peningkatan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta.

Darma Henwa, perusahaan penyedia jasa pertambangan terintegrasi, berkapitalisasi Rp 1,09 triliun, selama 3 tahun terakhir tertekan karena prospek industry pertambangan yang kurang menguntungkan. Tahun ini perseroan berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta dari sebelumnya US$222,03 juta, walaupun belum mencapai level yang pernah dicatat perseroan pada tahun 2012 sebesar US$ 335 juta.  

Namun tahun ini dengan pertumbuhan laba kotor disertai dengan penurunan biaya bahan bakar, penurunan penyusutan, serta penurunan biaya perbaikan dan pemeliharaan. Penurunan biaya-biaya ini dikarenakan kurangnya pesanan tahun lalu sehingga memberikan kesempatan perusahaan untuk menyusun strategi ulang atas biaya-biaya ini, salah satunya dengan meningkatkan peran subkontraktor untuk mengurangi biaya-biaya sendiri.

Perseroan juga menurunkan utang jangka panjangnya sehingga rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas turun menjadi 0,08 kali dari sebelumnya 0,15 kali. Salah satu utang yang banyak dilunasi adalah utang sewa pembiayaan, terutama kepada PT Hitachi Construction Machinery Finance Indonesia, prinsipal utama perseroan. Ini mengakibatkan beban bunga turun menjadi hanya US$ 2,42 juta dari sebelumnya US$ 3,73 juta.

Baru-baru saja Perseroan membeli PT Cipta Multi Prima, perusahaan yang bergerak di bidang jasa, pembangunan, perbengkelan, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan tersebut nantinya akan memperkuat bisnis DEWA di bidang jasa kontraktor pertambangan. Nilai pembelian tersebut mencapai Rp 21 miliar untuk membeli 99% saham dari kedua pemegang saham terdahulu.

Sebelumnya Perseroan juga telah mendapatkan proyek jasa pertambangan bawah tanah (underground) pertama dari Grup Bakrie  yaitu PT Dairi Prima Minerals senilai US$ 141 juta.  Kegiatan yang akan dilakukan Darma Henwa mencakup mengupas tanah (overburden), menyiapkan lahan untuk pabrik pengolahan serta menyiapkan areal untuk kegiatan produksi di Blok Anjing Hitam, Sumatra Utara.


Diharapkan dengan pelebaran bisnis ini ke depannya Darma Henwa akan lebih baik dalam pencatatan pertumbuhan dan laba, dan mampu mengangkat harga saham dari Rp 50 saat ini.