Tuesday, August 20, 2013

Periode Pengetatan Kredit Sedang Terjadi di Asia

Jakarta, 20 Agustus 2013 - Pengetatan kredit sebagaimana yang diindikasikan oleh Bank Indonesia juga terjadi di seluruh regional Asia. Indonesia menderita kenaikan yield tertinggi dibandingkan Filipina, India, dan Malaysia.  Biaya pinjaman - baik dari perbankan maupun pasar modal - akan naik, memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi regional, dan terutama Indonesia.

Bank Indonesia menaikkan tingkat suku bunga referensinya dalam  tahun ini sampai 6,5% dari sebelumnya lama flat di 5,75%. Ini segera mendorong tingkat yield obligasi pemerintah 10 tahun segera di atas 8%.

Pengetatan kredit juga diindikasikan oleh kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan batas atas rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) dari 78% - 100% menjadi 78% - 92%. Artinya bank-bank yang lmemiliki LDR di luar rentang tersebut akan terkena tambahan setoran giro wajib minimum (GWM). Ini akan mengerem laju pertumbuhan kredit bank-bank yang selama ini fokus untuk penyaluran kredit. 

Selain pengetatan kredit yang direncanakan oleh Bank Indonesia, pasar modal pun ikut mendukung kondisi kredit ketat ini. Nilai Rupiah yang terus melemah karena faktor eksternal dan internal seperti inflasi dan penguatan dolar AS, membuat risiko Indonesia di mata investor global naik. Ini mendorong tingkat yield obligasi naik


Biaya penerbitan obligasi menjadi makin tinggi sehingga perusahaan-perusahaan harus kembali mendesain ulang strategi pendanaan mereka. Bank CIMB Niaga telah membatalkan rencana penerbitan obligasi Rp 2,4 triliun untuk PT Perusahaan Listrik Negara, dan mungkin hanya menyanggupi separuh dari dana tersebut.

Tekanan terhadap Indonesia Besar
Beberapa analis berpendapat bahwa investor global memiliki sentimen negatif terhadap Indonesia terkait dengan beberapa kebijakan baru pemerintah yang dianggap tidak pro-investasi. Kebijakan-kebijakan seperti tekanan terhadap industri batubara, kebijakan-kebijakan baru tentang ekspor dan kepemilikan, telah memaksa para investor global untuk bermain di rantai nilai yang memiliki potensi laba tipis. Ini membuat Indonesia yang sebelumnya menjadi prioritas teratas pada industri pertambangan menjadi yang terbawah.

Ini membuat Indonesia cukup dijauhi oleh investor-investor asing terutama terkait dengan industri pertambangan, di samping fakta bahwa prospek pertambangan belum jelas sampai saat ini.

AFN berpendapat bahwa tekanan terhadap investor global ini memiliki dua dampak, positif dan negatif. Pertama adalah tekanan ini berguna untuk mendorong lebih cepat industri manufaktur atau penghiliran di Indonesia yang berfokus kepada sumber daya lokal.

Kedua, di sisi lain secara negatif, timing dari kebijakan ini kurang tepat mengingat bahwa infrastruktur untuk mendorong penghiliran ini mungkin belum optimal. Dampaknya industri manufaktur mungkin akan terpukul karena biaya investasi menjadi sangat tinggi, padahal risiko yang dipikul belum dapat diserap seluruhnya.

No comments:

Post a Comment