Sunday, February 16, 2014

Industri Rokok Ke Depan Masih Berpotensi Melambat

Jakarta,  17 Februari 2014 - Industri rokok masih berpotensi melambat disebabkan oleh pengetatan peraturan yang cenderung menekan penjualan dan faktor alam yang berpotensi menurunkan pasokan tembakau sehingga berakibat dengan kenaikan biaya produksi. Perlambatan sudah ditunjukkan oleh pertumbuhan penjualan dan laba bersih yang melambat  jika dibandingkan dengan penjualan tahun-tahun sebelumnya

 

Ditunjukkan dalam tabel, secara historis pendapatan emiten rokok mencatatkan perlambatan penjualan sejak kuartal pertama 2012 lalu, dan penjualan emiten rokok secara keseluruhan diprakirakan akan turun 10,21% pada tahun 2013 lalu.

Bahkan seluruh industri rokok dengan memasukkan Djarum dan merek rokok lainnya di seluruh Indonesia, penjualan rokok hanya tumbuh 2% pada kuartal ketiga tahun 2013 lalu, seperti yang ditunjukkan pada gambar.
 
Selain itu, laba bersih seluruh emiten rokok bahkan diprakirakan tertekan selama 2013 lalu dengan perlambatan diprakirakan sebesar 0,50% dibandingkan tahun 2012 lalu.


AFN melihat, perlambatan penjualan industri rokok ini di antaranya diakibatkan karena revisi dan pengetatan aturan dan pembatasan periklanan. Selain itu, faktor cuaca dan bencana alam juga berpotensi menekan laba dari emiten rokok karena biaya produksi tembakau akan lebih besar.

Pengetatan aturan mengenai peringatan untuk tidak mengkonsumsi rokok pada setidaknya sebesar 40% pada area kemasan rokok yang efektif berlaku pada Juni 2014 mendatang,  berpotensi menekan penjualan.

Selain itu, peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok dan semakain banyak kampaye gerakan anti merokok berpotensi menekan penjualan rokok.

Sementara itu, produksi tembakau tahun ini diprakirakan akan melambat. Ini akan berdampak pada kenaikan biaya produksi yang dapat menekan laba bersih emiten rokok.

Jawa dan Sumatera masih menjadi penghasil tembakau yang memasok hampir seluruh industri rokok di Indonesia, sementara beberapa tahun terakhir cuaca di Jawa curah hujannya semakin tinggi membuat kualitas dan kuantitas tembakau yang dihasikan petani semakin menurun sehingga biaya produksi tembakau meningkat.

Selain itu, faktor erupsi Gunung Sinabung, sebagai mana diketahui Sumatera Utara adalah salah satu penghasil tembakau, dan erupsi Gunung Kelud, dimana abunya merusak tanaman dalam jangka pendek akan menekan supplay tembakau yang baru berdampak dalam tiga tahun ke depan karena penyimpanan tembakau untuk produksi perlu didiamkan setidaknya dalam tiga tahun.

Tercatat harga tembakau rata-rata  kualitas sedang di pasar pada kisaran Rp 150.000 pada akhir 2013 lalu.

Perbandingan kinerja emiten rokok selama 3Q2013
Dari semua emiten rokok terlihat PT HM Sampoerna, Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam, Tbk (GGRM) masih menunjukkan kinerja fundamental yang cukup bertahan ditengah perlambatan industri rokok nasional.

Tercatat Sampoerna membukukan marjin laba bersih terbesar hingga 13,80% dibanding dengan semua kompetitor, selain itu, Sampoerna juga membukukan return on equity sebesar 78,62% dengan return on asset sebesar 37,17% atau yang terbaik diantara kompetitor.

Pertumbuhan penjualan Sampoerna juga masih sebesar 12,87% atau diatas industri rokok namun pertumbuhan laba bersih hanya 1,57%

Namun likuiditas Sampoerna sangat rendah dipasar dan terancam delisting jika tidak bisa memenuhi peraturan Bursa Efek tentang free float, tercatat saham beredar HMSP hanya 1,82% dari seluruh saham atau sebanyak 79,83 juta lembar saham. Selain itu, price earnings ratio HMSP juga tinggi hingga 30,18 kali atau lebih tinggi dari rata-rata IHSG sebesar 16,1 kali.

Salah satu yang terbaik dari industri rokok adalah Gudang GaramTercatat Gudang Garam membukukan marjin laba bersih sebesar 8,09% dengan return on equity sebesar 14,28% atau masih diatas emiten rokok lain.

Pertumbuhan penjualan Gudang Garam juga yang tertinggi sebesar  12,41% atau diatas industri rokok secara keseluruhan sebesar 2% dan pertumbuhan laba bersih hingga 7,65% yang juga diatas rata-rata industri.

Dari sisi PER, Gudang Garam tercatat baru sebesar 19,42 kali atau hampir sama dengan PER IHSG sebesar 16,1 kali, sehingga dinilai masih cukup murah oleh pasar.

Meskipun kedua emiten rokok yang merupakan unggulan dipasar modal itu terancam seiring dengan melambatnya industri rokok di Indonesia.

No comments:

Post a Comment